Up In Arms About Islam?

2. Sudah menjadi hal yang maklum di dalam fiqh syariat, yang juga telah dijabarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam mukadimah Minhajus Sunnah, imamah itu adalah akad yang dilakukan antara umat dengan imam. Ini menjelaskan makna ungkapan para ulama bahwa khalifah itu adalah produk manusia, maksudnya ia adalah akad dalam Islam sebagaimana akad-akad lainnya yang terjadi atas dasar kerelaan, yang mesti memiliki syarat-syarat dan tujuan, karena jika tidak maka itu akan hanya tinggal sebatas nama. Maka syarat imamah al ‘uzhma adalah adanya keridhaan, yaitu sebagaimana yang beliau katakan: “… Arti akad menurut syariat sendiri sebenarnya adalah harus ada dua orang yang melakukan akad, objek akad, dan shighat (lafal) akad, ini adalah rukun-rukun akad sebagaimana yang tertulis di dalam buku-buku ulama kita dan sebagaimana yang dipelajari oleh para siswa. 4. Objek akad dari imamah adalah menegakkan hukum, melindungi wilayah, berdakwah kepada Allah, dan berjihad. Imamah yang dimaksudkan di sini adalah yang memiliki arti secara khusus: sistem perpolitikan menurut anggapan kalangan kontemporer. Dan tidak ada yang dapat melindungi kecuali orang yang memiliki arti seorang pemimpin di atas, ini sudah menjadi maklum. Di dalam hadits ini disebutkan dua hal yang dapat mewujudkan arti seorang pemimpin yaitu: “orang berperang di belakangnya” dan “berlindung kepadanya”.

Orang-orang ini adalah anggota majelis syura dan Ahlul Halli wal ‘Aqdi, atau bisa dikatakan bahwa merekalah yang memiliki wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas seluruh umat. 8. Sunnah dari Al Wujud adalah adanya eksistensi orang-orang yang memiliki pengetahuan, mereka adalah orang-orang yang mewakili umat dalam permasalahan dan kebutuhan mereka. Maksudnya adalah imamah memiliki pekerjaan-pekerjaan yang sekaligus menjadi tugasnya. 6. Sedangkan keharusan untuk melakukan bai’at imamah dengan ridha, maka dalilnya adalah perkataan Al Faruq, Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu: “Maka barangsiapa membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, niscaya orang yang membai’at tersebut dan orang yang dibai’at tersebut tidak boleh diikuti, karena ia telah menjerumuskan mereka berdua untuk dibunuh”. Dosa-dosa Ash Shiddiq dihapuskan karena tingginya maqam beliau di hadapan para sahabat lainnya, dan ini adalah realisasi dari sabda Nabi Muhammad SAW: “Allah menolak (selain dia) dan orang-orang mukmin enggan (kekhilafahan untuk selain Abu Bakar)”. Itu semua adalah tugas-tugas dari akad ini, dan ia tidak akan dapat direalisasikan kecuali dengan alat bantunya yang bernama persyaratan-persyaratan imamah, namun ini diingkari oleh orang-orang bodoh tersebut. Jika seseorang dikatakan dengan selain hal ini, kemudian ia menerimanya, maka ia telah menyalahi nalurinya. Dengan akad ini, maka sang imam akan memiliki kekuatan yang dapat digunakan untuk menjalankan tugas, umat Islam-lah yang menjadi kekuatannya.

Ia ditaati berdasarkan perkataan tersebut; orang berperang di belakangnya, perintahnya ditaati, dan setelah itu sebagai timbal baliknya orang-orang memiliki hak atas dirinya untuk mendapatkan perlindungan darinya. Orang-orang ini adalah para ulama, orang-orang yang bijaksana dan orang-orang kuat lainnya. Landasannya adalah kaedah fiqh berikut: “Sesuatu yang dilarang oleh syariat karena dzatnya, maka larangan itu tidak diterapkan pada sebagiannya saja”, maksudnya adalah: apa yang tidak terbagi yaitu hilangnya dzat syar’iyah, bagi siapa yang memahaminya, maka ia akan tahu bahwa hilangnya tugas-tugas imamah dari si imam yang telah dibai’at berarti menunjukkan hilangnya arti dari keimamahan yang sah sesuai syariat. 3. Ibnu Taimiyah menunjukkan di dalam keseluruhan perkataannya, bahwa imamah bukanlah jabatan yang ditentukan oleh Allah, akan tetapi ia adalah bentukan manusia. Karena maksud dari imarah itu terelisasi pada diri orang yang di bai’at tersebut bukan pada orang selain dia. Barang siapa yang membuat akad dengan seorang wanita dengan syarat tidak digauli maka akan lenyap maksud nikah.

Ini sesuai dengan kaidah fiqh “Al Gharmu Bil Ghunmi” (“Tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil”). Kalau saja Rasulullah SAW mewasiatkan imamah kepada seseorang, kemudian umat menyelisihinya dan membai’at orang selainnya, maka yang layak jadi imam adalah orang yang di bai’at oleh umat bukan yang di wasiatkan oleh nabi, meski umat berdosa karena menyelisihi wasiat belaiu. Ini adalah jawaban ringkas yang ditujukan kepada orang yang bodoh, lalu ia mengklaim bahwa At Tamkin (memiliki kekuasaan) adalah syarat yang batil dalam syarat-syarat mendirikan khilafah, dan jawaban yang sifatnya dialog kepada orang yang menguasai ilmu fiqh dan ushul fiqh, bukan kepada orang yang tidak menguasainya. Dan ini di antara makna ucapan para ahli ushul fiqih : “Sesuatu yang keluar dari makna dan tidak sah kecuali dengannya”, juga makna ucapan mereka : “Sesuatu yang di larang dalam syariat itu seperti tidak ada wujudnya”. Maka apabila ada rukun yang hilang dari akad, maka batallah akad tersebut, tidak ada yang perlu saya tambahkan dalam pembahasan ini. Jadi ketika orang yang dibai’at tidak mampu untuk mewujudkan perisai atau penjagaan karena ia tidak memiliki alat bantunya atau karena keterbatasan kemampuannya, maka sifat keimamahan hilang dari dirinya.